Sabtu, 11 Desember 2010

UUPA



 
Pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di segala bidang selama ini dirasakan telah menampakkan hasil, terutama pada masa sebelum dan menjelang era reformasi, tetapi di sisi lain juga melahirkan persoalan-persoalan baru yang semakin rumit, sehingga timbul konsekuensi terjadinya perubahan yang besar dalam masyarakat.
Pesatnya keragaman pembangunan yang terjadi, ternyata dihadapkan pada persoalan-persoalan seperti yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, antara lain: terbatasnya lahan yang tersedia dengan berbagai fungsi peruntukan; pemanfaatan dan pengelolaan lahan serta pola tata ruang yang belum sepenuhnya dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh; penggunaan lahan seringkali terjadi penyimpangan dari peruntukannya; persaingan mendapatkan lokasi lahan yang telah didukung atau yang berdekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan, sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan kota; masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kepatutan atas kewajiban sebagai warga negara.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni menciptakan kesejahteraan rakyat, dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
1
 
Sebelum berlaku UUPA No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yang mengatur pertanahan yaitu ketentuan-ketentuan yang berdasarkan kepada hukum perdata barat dan ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat. Hukum perdata barat adalah peraturan pertanahan yang dikeluarkan oleh pemerintahan belanda seperti Eigendom recht, erfacht recht, postal recht dan lain-lain peraturan yang kesemuanya bertujuan untuk lebih menguatkan bangunan hukum pada masa itu, sehingga jelas perbedaan antara hak-hak atas tanah yang berdasarkan hukum adat dan dilain pihak berdasarkan hukum barat. Sedangkan hukum adat merupakan hukum atau peraturan-peraturan yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia dimana sumbernya adalah peraturan-peraturan yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
Ada beberapa alasan lahirnya UU No.5 Th 1960 (UUPA) yaitu: hukum agraria yg berlaku sebagian tersusun berdasar tujuan dan sendi2 dari pemerintah jajahan, hingga bertentangan dengang kepentingan negara; karena akibat politik-hukum penjajahan, shg hukum agraria tsb mpy sifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan2 dari hukum adat di samping peraturan2 hukum barat, shg menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa; hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli.


 
ISI

A.    Tujuan UUPA
3
 
Berdasarkan penjelasan umum UUPA, tujuan UUPA antara lain:
  1. Meletakkan dasar2 bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
  2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
  3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Latar belakang dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA di atas adalah karena realitas pengaturan hukum agraria yang diwariskan pemerintah jajahan sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia. Semua itu harus dihapus dan digantikan dengan semangat yang didasarkan pada kepentingan rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945. Dari penjelasan UUPA itu menunjukkan bahwa UUPA adalah anti kapitalisme dan sebaliknya memiliki semangat kerakyatan (populis).  Cita-cita UUPA adalah melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada agar menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani.
B.     UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)
UUPA terdiri dari 4 bab, yaitu:
1.      BAB I, membahas mengenai  Dasar dan Ketentuan Pokok. Bab ini terdiri dari 15 pasal.
2.      BAB II, membahas mengenai Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa Serta Pendaftaran Tanah. Bab ini terdiri dari 35 pasal.
3.      BAB III, membahas mengenai Ketentuan Pidana. Bab ini hanya terdiri dari 1 pasal.
4.      BAB IV, membahas mengenai Ketentuan Peralihan. Bab ini terdiri dari 5 pasal.
Terdapat tiga konsep dasar dalam UUPA yaitu: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat; Eksistensi dan wewenang Negara sebagai organisasi tertinggi bangsa dinyatakan dalam Hak Menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa sebagai penjabaran pasal 33 UUD 1945 yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; dan pelaksanaan program landreform. Beberapa bagian penting yang dibahas dalam UUPA adalah tentang yang bersangkutan dengan pengertian hak atas tanah dan ketentuan-ketentuan landreform.
  1. Pengertian Hak Atas Tanah
Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 dan pasal 53 UUPA, antara lain:
a.       Hak Milik
b.      Hak Guna Usaha
c.       Hak Guna Bangunan
d.      Hak Pakai
e.       Hak Sewa
f.       Hak Membuka Tanah.
g.      Hak Memungut Hasil Hutan
h.      Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak yang dimaksud antara lain :
a.       Hak gadai
b.      Hak usaha bagi hasil,
c.       Hak menumpang,
d.      Hak sewa untuk usaha pertanian.
Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya.
Dalam UUPA, hak–hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :
a.       Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
1)      Hak Milik
2)      Hak Guna Usaha
3)      Hak Guna Bangunan
4)      Hak Pakai
5)      Hak Sewa Tanah Bangunan
6)      Hak Pengelolaan
b.      Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
1)      Hak Gadai
2)      Hak Usaha Bagi Hasil
3)      Hak Menumpang
4)      Hak Sewa Tanah Pertanian
Pencabutan Hak Atas Tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi.
  1. Landreform
Bila ditinjau secara seksama maka akan jelaslah bahwa UUPA (terutama pasal 7, 10 dan 17) merupakan induk dari ketentuan landreform Indonesia, baik mulai dari menimbang hingga pasal 19 dan ketentuan-ketentuan Konversi Hak atas Tanah. Dengan membaca konsiderans maupun Penjelasan dari UUPA dan pasal 1 hingga pasal 19 UUPA, mapun Ketentuan Konversi akan jelas tentang penetapan dari landreform di Indonesia (A.P.Parlindungan, 1987:4).Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal 17 UUPA tentang batas maksimum-minimum pemilikan tanah dikeluarkan Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dikenal sebagai UU Landreform. Kemudian terhadap pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Perkembangan lebih lanjut dari landreform di Indonesia dalam pelaksanaannya mengalami stagnasi, tersendat-sendat dan tidak tuntas terkesan dianaktirikan dalam kebijakan pembangunan bahkan baru pada tahun 1978 kemudian tahun 1983 dalam GBHN secara tegas dinyatakan landreform sebagai suatu kemauan politik. Perubahan jaman dengan adanya liberalisasi perdagangan menempatkan tanah sebagai komoditi membuat masalah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah semakin kompleks dimana rakyat terutama petani kecil diposisikan sebagai korban arus kapitalisme global. Fenomena di atas terlihat jelas, dimana rejim orde baru sejal awal langkah pemerintahannya telah meninggalkan roh dan semangat UUPA yang populis dan diganti dengan kebijakan memfasilitasi akumulasi modal.
Asas-asas dan ketentuan pokok landreform dijumpai dalam UUPA. Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agraria Reform Indonesia. Program landreform dalam arti luas disebut Agraria atau Reform atau Panca Program yang meliputi:
a.       Pembaharuan hukum agraria yaitu dengan mengadakan perombakan terhadap sendi-sendi hukum agraria lama yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi jaman dan menggantikan dengan perkembangan masyarakat modern.
b.      Mengadakan penghapusan terhadap segala macam hak-hak asing konsesi kolonial.
c.       Mengakhiri kekuasaan tuan tanah dan para feodal atas tanah yang telah banyak melakukan pemerasan terhadap rakyat melalui penguasaan tanah.
d.      Mengadakan perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
e.       Mengadakan perencanaan, persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana sesuai dengan kemampuan dan perkembangan kemajuan.
Sedangkan pengertian program landreform dalam arti sempit hanya mencakup program yang ke empat yang mencakup perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
UUPA sebagai induk dari program landreform di Indonesia maka beberapa pasal-pasal UUPA yang sangat berkaitan dengan landreform yaitu pasal 7, 10 dan 17  (lihat dalam lampiran). Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas diatur secara tegas dalam pasal 7 yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Ketentuan dalam pasal tersebut berhubungan dengan pasal-pasal lainnya seperti dalam pasal 10 yang menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakan sendiri secara aktif. Ketentuan pasal 10 ini hendaknya dapat menghalangi terwujudnya tuan-tuan tanah yang tinggal di kota-kota besar, menunggu saja hasil tanah-tanah yang diolah dan digarap oleh orang yang berada di bawah perintah/kuasanya.
Selanjutnya dalam pasal 17 UUPA menunjuk kepada apa yang ditentukan dalam pasal 7 dan 10, maka pasal 17 mengemukakan tentang batas-batas maksimum luasnya tanah. Dengan adanya ketentuan ini dapat dihindarkan tertumpuknya tanah pada golongan-golongan tertentu saja. Dasar hukum yang tercantum di sini sejalan pula dengan tujuan landreform. Pasal 17 UUPA ini juga mencerminkan ciri-ciri khas serta kebijaksanaan dalam pelaksanaan landreform di Indoensia yaitu pemberian/pembayaran ganti rugi oleh pemerintah kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan tanah absentee.
Tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam kerangka pencapaian tujuan keadilan sosial yang menjadi semangat dan roh UUPA pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan hukum dibidang pertanahan, antara lain:
a.       UU No.56 Prp 1960 sebagai pelaksanaan pasal 17 UUPA,
b.      UU No.2/1960 tentang Bagi Hasil,
c.       Peraturan Pemerintah (PP) No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah,
d.      PP No.224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian yang kesemuanya disiapkan untuk pelaksanaan program landreform.
Keberadaan aturan-aturan tersebut tidak menjamin bahwa program landreform dapat dilaksanakan secara maksimal, pergantian rejim pemerintahan tidak memperlancar program ini bahkan macet dalam pelaksanaannya, sebab prinsip yang digunakan oleh pemerintah yaitu tanah untuk sebesar-besarnya pertumbuhan ekonomi nasional. Aparatur militer juga diposisikan untuk mendukung proses ini dengan dasar asumsi bahwa pembangunan memerlukan stabilitas politik. Di sini konsep tanah berfungsi sosial (pasal 6 UUPA) semakin jauh, fungsi sosial itu dimaknakan dan dijadikan dasar legitimasi pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan industri.
Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih terjadinya penumpukan tanah oleh pihak tertentu, padahal pasal 7 UUPA mengatur tentang larangan menguasai tanah melampaui batas tertentu, sebab hal ini merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya didaerah yang berpenduduk padat. Kelangkaan tanah menyebabkan tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Kemudian dalam penjelasan umum UU No.56 Prp Tahun 1960 menetapkan bahwa untuk mempertinggi taraf hidup rakyat pada umumnya tidaklah cukup diadakan penetapan luas maksimum dan minimum saja, tetapi harus diikuti dengan pembagian tanah-tanah yang melebihi maksimum itu. Agar supaya dapat dicapai hasil sebagai yang diharapkan, maka usaha itu perlu disertai tindakan-tindakan lainnya misalnya pembukuan tanah, tanah pertanian baru, industrialisasi, transmigrasi, usaha untuk mempertinggi produktivitas, persediaan yang cukup dan dapat diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah serta tindakan-tindakan lainnya.
Ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan tanah semakin nampak jelas akibat dari tidak meratanya pendistribusian/pembagian tanah, hal ini dapat dilihat dari gejala, tanah-tanah tersebut terakumulasi di tangan orang atau badan-badan tertentu. Kekhawatiran terbesar adalah akan melambungnya harga tanah. Untuk memperkecil akses dari ketimpangan itu, dia menyatakan perlunya kesadaran akan aturan yang berlaku. Penegakan hukum yang menyangkut masalah tanah sangat diperlukan agar jangan sampai tanah dikuasai oleh orang atau badan tertentu saja. Bila itu terus berlanjut nanti akan banyak lahan yang sia-sia, sebab disebuah lingkungan perumahan tidak semua lahan tersebut digunakan. Padahal di sisi lain sekelompok masyarakat kecil kesulitan mencari tanah untuk bercocok tanam.
Oleh sebagian kalangan UUPA dipandang tidak mampu untuk mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah yang terjadi sekarang. Kebijakan pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi telah menempatkan tanah sebagai asset yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga tak heran bila banyak pihak yang bermodal besar memborong tanag-tanah sebagai penanaman modal tabungannya. Penimbunan tanah-tanah demikian tentunya akan mengurangi daya produksi dipedesaan, karena berkurangnya kegiatan menggarap tanah atau tanah digunakan untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan. UUPA/Landreform yang diumumkan pada tahun 1961 demikian juga dengan tindakan transmigrasi tidak dapat mengatasi keadaan pincang antara pemilik tanah dan mereka yang tidak memiliki tanah.
Dalam perkembangannya pelaksanaan landreform di Indonesia pun mengalami stagnasi, tersendat-sendat, dan tidak tuntas, dimana hambatan utama pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintah orde baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini kurang memberikan keberpihakan pada masyarakat golongan ekonomi lemah, termasuk petani yang memang membutuhkan tanah. Sehingga kebijakan pertanahan dalam rangka landreform perlu ditinjau ulang. Selain itu terdapat beberapa UU dan peraturan pelaksanaan UUPA yang juga perlu mengalami perubahan, seperti pengurangan luas batas maksimum umpamanya menjadi 2 ha dan batas minimum ½ ha. Hal tersebut sangat diperlukan dengan alasan jika batas maksimum yang ada sekarang terus dipertahankan maka tidak akan banyak tanah kelebihan yang dapat dibagikan kepada petani gurem yang demikian besar jumlahnya.
Bila mencermati uraian di atas maka UUPA sebagai induk landreform pada dasarnya hanya berisikan hal-hal yang pokok saja, pengaturan secara khusus hanya dapat dijumpai dalam UU dan peraturan pelaksanaannya yang tentu saja dapat berubah atau disempurnakan dan kesemuanya bergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Maka dengan perkembangan masyarakat sekarang ini serta meningkatnya kebutuhan akan tanah, program landreform harus dituntaskan pelaksanaannya yang tentu harus didukung oleh kemauan politik pemerintah, maka kebijakan pertanahan perlu untuk diperbaharui sesuai konsep pembaruan agrarian dan paradigma baru yang mendukung ekonomi kerakyatan, demokratis, dan partisipatif.
C.    Penyempurnaan UUPA
Perlu diakui bahwa UUPA merupakan karya besar yang terbit tahun 1960, pada tahap awal penyelenggaraan negara, di tengah konflik politik dan mendesaknya kebutuhan akan suatu undang-undang yang memberi jaminan keadilan terhadap akses untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya agraria (SDA) berupa bumi, air, kekayaan alam, dan sebagainya. Menilik namanya, obyek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah.
Obyek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti berbagai sektor melalui berbagai undang-undang sektoral. Undang-undang itu terutama diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pragmatis guna mengakomodasi pertumbuhan ekonomi. Berbagai undang-undang sektoral itu adalah : UU No 5 Tahun 1997 tentang Kehutanan diperbarui dengan UU No 41 Tahun 1999; UU No 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan/sedang direvisi; UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan/sedang direvisi berjudul "RUU tentang Sumber Daya Air"; dan lainnya pembentukannya tidak berlandaskan prinsip-prinsip yang telah diletakkan UUPA. Pada gilirannya, kedudukan UUPA diatur kembali menjadi UU sektoral yang hanya mengatur pertanahan. Selain itu, meski berbagai undang-undang sektoral mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, namun substansinya pada umumnya memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan falsafah "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat"
Kajian yang dilakukan Tim Penyusun RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam mencatat lima karakteristik peraturan perundang-undangan sektoral:
  1. orientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara;
  2. lebih berpihak pada pemodal besar;
  3. ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara sehingga bercorak sentralistik;
  4. pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antarsektor yang lemah;
  5. tidak mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara proporsional.
Secara ringkas, akibat keberadaan berbagai UU sektoral yang inkonsisten dan tumpang tindih itu adalah koordinasi yang lemah di tingkat pusat, antara pusat dan daerah serta antardaerah; kerusakan dan kemunduran kualitas SDA; ketidakadilan berupa terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang hidupnya terutama tergantung pada akses terhadap SDA (petani, masyarakat adat, dll); serta timbulnya konflik berkenaan dengan SDA.
Kenyataan ini mendorong terbitnya Tap MPR IX/2001 yang antara lain meletakkan prinsip pembaruan agraria, mendorong pengkajian ulang dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektoral melalui pencabutan, penggantian, atau penyempurnaan UU sektoral. UU Agraria mendatang
Kini yang diperlukan adalah keberadaan UU yang menjadi platform bersama bagi berbagai UU sektoral. UUPA yang semula diniatkan jadi UU platform, baik karena obyek pengaturan maupun falsafah, orientasi, dan prinsip dasarnya, bernilai strategis untuk berperan dalam harmonisasi undang-undang sektoral. Penyempurnaan UUPA dalam rangka harmonisasi undang- undang sektoral dititikberatkan pada hal-hal berikut:
  • Pertama, pilihan paradigma adalah penghormatan dan perlindungan HAM, keberlanjutan kapasitas produktif masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan good governance;
  • Kedua, falsafah UU Agraria nanti adalah penggunaan bumi, air, ruang udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (SDA) guna sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  • Ketiga, orientasi UU Agraria mendatang adalah pencapaian keadilan sosial, efisiensi, pelestarian lingkungan, dan penggunaan SDA berkelanjutan;
  • Keempat, prinsip-prinsip dasar UUPA perlu diredefinisi dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang termuat dalam Tap IX/2001.
Kedudukan UU Agraria mendatang adalah sebagai dasar pengaturan lebih lanjut berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan sektoral. Secara garis besar, struktur UU Agraria nanti akan memuat:
  1. ketentuan umum berisi falsafah, orientasi, dan prinsip-prinsip dasar;
  2. hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan SDA (tanah, hutan, tambang, air, dsb) yang akan memuat ketentuan penguasaan atau pemanfaatan dan pengaturan SDA yang dapat berwujud hak atau izin dengan implikasi kewenangan, hak, kewajiban, dan pembatasannya.
Dalam kaitan dengan prinsip dasar diperlukan ketegasan sikap tentang  hubungan antara hak perorangan dan hak bersama berkenaan penguasaan dan pemanfaatan SDA, akomodasi terhadap keanekaragaman hukum yang masih berlaku dan dijunjung tinggi di lingkungan masyarakat adat, dan alternatif penyelesaian konflik berkenaan dengan SDA.

 
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Tujuan UUPA antara lain meletakkan dasar2 bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
  2. Terdapat tiga konsep dasar dalam UUPA yaitu: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat; Eksistensi dan wewenang Negara sebagai organisasi tertinggi bangsa dinyatakan dalam Hak Menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa sebagai penjabaran pasal 33 UUD 1945 yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; dan pelaksanaan program landreform.
  3. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Adapun ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 dan pasal 53 UUPA.
  4. UUPA (terutama pasal 7, 10 dan 17) merupakan induk dari ketentuan landreform Indonesia, baik mulai dari menimbang hingga pasal 19 dan ketentuan-ketentuan Konversi Hak atas Tanah.
  5. 15
     
    Tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
  6. Pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah, seddangkan undang-undang SDA lainnya diatur dalam undang-undang sektoral. Sehingga menyebabkan banyak kesimpangsiuran peraturan, maka diperlukan penyempurnaan UUPA.




 
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Fia S. 2010. UUPA sebagai Induk Lanreform. http://fiaji.blogspot.com. Diakses Tanggal 25 November 2010.
Paryoto. 2010. Pengertian Tanah Menurut UUPA. http://paryoto.com. Diakses tanggal 25 November 2010.
Sitorus, Oloan dan Rakhmad Riyadi. 2009. Penyempurnaan UUPA. http://nasih.staff.ugm.ac.id. Diakses tanggal 25 November 2010.
Sumardjono, Maria SW. 2010. Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan. http://www.unisosdem.org. Diakses tanggal 25 November 2010.
Undang Undang No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria).

Kamis, 30 September 2010

OPINI DAN PEMBAHASAN SIKAP MENTAL, KEPRIBADIAN DAN MOTIVASI DIRI BAGI SEORANG WIRAUSAHA


Berwirausaha adalah suatu gaya hidup dan prinsip-prinsip tertentu akan mempengaruhi strategi karier kita. Bersifatlah fleksibel dan imajinatif, mampu merencanakan, mengambil resiko, mengambil keputusan-keputusan, dan mengambil tindakan untuk mencapai tujuan. Kita haruslah bersedia bekerja dalam keadaan konflik, perubahan dan keragu-raguan. Hal ini berarti bahwa kita perlu menganalisis diri sendiri dalam hubungan dengan lingkungan tempat kita bekerja. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pengendalian sikap dan kepribadian diri serta pemberian motivasi kepada diri sendiri untuk belajar dan berkembang dalam karier.
            Pengendalian dan pengembangan sikap dapat berupa pengendalian sikap terhadap karier, sikap mental, sikap positif dan kebiasaaan.
1.      Sikap terhadap Karier
Sebagai wirausahawan, kita harus memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat diterapkan pada sejumlah karier yang luas. Memikirkan faktor-faktor berikut akan membantu kita mengembangkan sikap-sikap kewirausahaan dalam karier kita.
·   Memilih sebuah karier yang akan memberikan kita kemungkinan untuk mewujudkan diri kita secara kreatif dan juga memungkinkan pertumbuhan pribadi dan profesi.
·   Dalam memulai karier kita hendaknya mencontoh orang-orang yang berhasil dalam bidang pekerjaan yang sama, tetapi jangan meniru secara detail. Kembangkanlah sifat-sifat positif melalui praktek sehari-hari.
·   Berusaha untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang karier yang kita pilih. Dengan banyak  pengetahuan akan membantu kita untuk menjadi ahli dalam jenis pekerjaan ini.
Harta terbesar untuk mempertahankan wirausaha adalah sikap positif, tekad, pengalaman, ketekunan, dan bekerja keras adalah prasyarat pokok untuk menjadi seorang wirausaha yang baik.
2.      Sikap Mental
Para wirausaha memilih pandangan hidup yang sehat. Mereka merupakan individu-individu yang matang yang telah mengembangkan suatu cara, menilai pengalaman-pengalaman secara sehat. Saran-saran berikut akan membantu mengembangkan sikap mental yang baik.
·    Menunjukkan sikap mental yang positif terhadap pekerjaan kita. Karena sikap inilah yang akan ikut menentukan suatu keberhasilan.
·   Menyediakan waktu setiap hari untuk renungan pikiran kita.
·   Menggunakan imajinasi kita untuk meluaskan pikiran dan mencoba memikirkan sesuatu yang besar.
·   Menunjukkan rasa humor akan menyebarkan optimisme dan suasana yang santai.
Sikap mental yang tepat terhadap pekerjaan sangatlah penting. Sikap mental positif akan mengubah pekerjaan yang menjenuhkan menjadi pekerjaan yang menggairahkan, menarik, dan memberi kepuasan.

3.      Kebiasaan dan Sikap
Kebiasaan-kebiasaan baik susah diperoleh, namun sekali telah diperoleh mereka akan merupakan harta-harta yang penting. Jika kita mengerti bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakan, seharusnya kita meninjau kembali kebiasaan-kebiasaan kita dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan masa depan. Kebiasaan baru mungkin perlu menggantikan kebiasan lama, agar ikut menunjang keberhasilan masa depan.

            Dalam diri seeorang tersimpan berbagai macam sifat yang satu sama lain berbeda. Sifat yang terkandung dalam setiap individu dapat dikatakan unik dan misterius. Sifat-sifat itu unik karena semuanya bersifat abstrak, tidak bisa dirasakan orang lain dan jumlahnya sangat banyak. Dikatakan misterius karena setiap orang tidak dapat mengetahui berapa jumlah sifat yang terdapat pada diri seseorang, bahkan dirinya sendiri tidak tahu. Karena terlalu misterius, maka semua yang berhubungan dengan sifat-sifat tadi sering orang yang menyebut dengan masalah kejiwaan.
Kepribadian termasuk urusan yang bersifat kejiwaan. Karena termasuk kejiwaan, maka untuk mengetahuinya juga dengan pendekatan kejiwaan. Dalam diri manusia secara umum, terdapat sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk. Diantara sifat baik misalnya, berpikir positif, suka menolong, mengajar kepada orang lain, berbaik budi kepada sesama, dll. Sifat-sifat buruk antara lain menipu, tidak dapat dipercaya, memfitnah, pemalas, pengecut, termasuk didalamnya termasuk sifat depresif .
            Kepribadian depresif merupakan perangai yang sangat tertekan dan termasuk didalamnya adalah salah satu penyakit kejiwaan. Perilaku depresif dipicu oleh jiwa yang tertekan atau stres. Jiwa tertekan yang berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama menimbulkan efek negatif yakni depresi. Ciri – ciri kepribadian depresif antara lain:
  1. Pemurung, sukar merasa senang atau bahagia.
  2. Pesimis untuk menghadapi masa depan
  3. Mudah tegang, agitatif dan gelisah
  4. Mudah tersinggung
  5. Sering menyendiri, menarik diri dari lingkungan atau pergaulan
  6. Pemalu dan pendiam
  7. Suka mencela, mengkritik secara berlebihan
  8. Sulit mengambil keputusan
  9. Tidak agresif, sikap oposisinya dalam bentuk pasif / agresif
  10. Menghindari hal – hal yang tidak menyenangkan
Faktor – faktor yang mempengaruhi kepribadian depresif :
  1. Lingkungan keluarga
  2. Lingkungan formal
  3. Lingkungan masyarakat
Hal – hal yang bisa mengubah perilaku depresif yang negatif ke energi positif antara lain:
  1. Pandangan hidupnya selalu menuju pada Tuhan.
  2. Pemikiran yang matang tentang sebab akibat suatu perbuatan, dimana setiap perbuatan pasti membawa efek atau akibat dari perbuatan tersebut.
  3. Memahami falsafah hidup sebagai salah satu solusi ketika terjadi perbuntuan berfikir.
  4. Memiliki kemauan kuat mengubah diri kearah yang baik dan menyadari tentang kekurangan – kekurangan dirinya.
Meneliti kepada diri sendiri merupakan tindakan yang sangat bijak karena penyakit jiwa yang utama berasal dari diri sendiri dan pengobatan yang paling efektif juga berhasil dari diri sendiri. Perilaku depresif yang ada di dalam diri setiap orang tentu tingkatannya berbeda–beda, mungkin baru gejala saja yang mengarah kepada perilaku depresif tetapi ada yang sudah pada taraf serius. Disamping perilaku itu muncul tidak serta merta.
Wirausaha merupakan motivator bagi karyawan yang berhasil. Ada wirausaha yang memotivasi dengan contoh kerja keras mereka saja. Namun motivator yang paling berhasil adalah wirausaha yang orientasi-orangnya tinggi. Berikut ini adalah beberapa metode yang digunakan oleh pemimpin yang berorientasi-orientasinya tinggi, untuk memberi motivasi kepada stafnya:
1.      Bangun harga diri karyawan. Semakin tinggi harga diri karyawan semakin baik prestasi mereka dalam menyelesaikan tugas.
2.      Delegasikan kekuasaan dan tanggung jawab. Sebagai pemimpin haruslah mampu percaya dengan orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan. Sekali staf kita terbukti mampu mereka haruslah diberi kebebasan untuk mengambil keputusan, menerapkan tindakan korektif dan mencapai sasaran tanpa penyediaan terus-menerus dari atasan.
3.      Membina kontak, melalui kontak pribadi setiap atasan akan mampu memanfaatkan bakat-bakat setiap orang dengan sangat efisien.
4.      Analisilah problemnya, bukan orangnya. Jangan menyindir seolah-olah rendahnya prestasi merupakan petunjuk dari sikap yang tidak baik atau tidak ada perhatian dalam pekerjaan.
5.      Lakukan tindakan korektif, jika seorang karyawan telah berbuat sesuatu yang salah, anda harus melakukan tindakan korektif, tetapi jangan sampai tindakan melukai perasaan mereka atau mempermalukan mereka.

PENGERTIAN MOTIVASI

Motivasi merupakan salah satu hal yang paling sering disinggung oleh pemimpin organisasi baik secara terbuka maupun terselubung. Hal ini membuktikan pentingnya masalah motivasi tersebut dalam masalah kepemimpinan, kalau tidak dapat dikatakan bahwa tantangan yang paling hakiki bagi seorang pimpinan organisasi adalah bagaimana memotivasi anggota organisasi.
Membicarakan motivasi dalam suatu organisasi bukanlah suatu hal yang sederhana melainkan suatu pembahasan yang komplek. Oleh karena itu untuk lebih memungkinkan pemanfaatan dari segi praktisnya, seseorang pemimpin organisasi tidak perlu terlalu larut ke dalam pembahasan yang terlalu dalam pada setiap macam teori motivasi yang banyak dicetuskan dan dikembangkan pada pakar. Pengetahuan dan landasan teoritis memang diperlukan untuk memadukan dan mensistematisir apa yang kita ketahui tentang motivasi tersebut.

TEORI MOTIVASI

Setiap pimpinan organisasi pasti mendambakan suatu keadaan di mana semua anggota organisasi yang dipimpinnya memiliki gairah kerja dan produktivitas yang tinggi. Untuk mencapai keadaan tersebut, berbagai upaya sering telah dilakukan namun dambaan tetap tinggal dambaan, kenyataan yang dihadapi jauh dari yang diharapkan. Beberapa teori motivasi yang telah dicetuskan orang dikemukakan berikut ini dengan maksud untuk dimanfaatkan sebagai acuan dasar dalam upaya memotivasi anggota organisasi yang dipimpin.
Teori motivasi yang pada hakekatnya membahas tentang mengapa dan bagaimana orang terlibat dalam perilaku kerja tertentu telah berkembang dari waktu ke waktu. Dalam makalah ini akan diuraikan secara singkat, beberapa teori motivasi mulai dari yang termasuk Teori Isi atau kebutuhan dan Teori Kognitif atau Proses dan Teori Penguatan.

ANALISIS MASALAH MOTIVASI

1.      Salah satu kesulitan pokok dalam menganalisis masalah motivasi adalah untuk memahami variabel yang banyak terdapat dalam diri individu yang bersangkutan. Salah satu alternatif praktis dalam menangani masalah tersebut adalah dengan menekankan terutama pada akibat / konsekuensi dari perilaku dan bagaimana mengubahnya sehingga secara positif dapat menguatkan perilaku yang dikehendaki.
2.      Perlu disadari perbedaan antara masalah motivasi dengan masalah unjuk kerja. Masalah motivasi timbul dalam organisasi apabila terdapat kesenjangan antara hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapkan, dan kesenjangan tersebut disebabkan kurangnya usaha yang dilakukan. Sedangkan masalah unjuk kerja timbul apabila perilaku kerja seseorang berada di bawah yang diharapkan, dan masalah tersebut bukan disebabkan oleh rendahkanya motivasi, melainkan dapat disebabkan  oleh :
a.       Masalah Komunikasi
Dalam hal ini kegagalan dalam melaksanakan sesuatu tugas disebabkan oleh persepsi yang salah atas apa yang diharapkan.
b.      Masalah Kemampuan / Ketrampilan
Yang bersangkutan kurang memiliki kemampuan fisik maupun mental untuk melaksanakan tugas seperti yang diharapkan.
c.       Masalah Pelatihan
Dalam hal ini unjuk kerja tetap akan kurang memadai terlepas dari tingkat motivasi, sampai suatu pelatihan telah diberikan.
d.      Masalah Kesempatan
Petugas mengetahui apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan namun terkendala oleh kondisi linkungan seperti misalnya kekurangan peralatan atau metode yang sudah usang.
3.      Beberapa prinsip dasar atau pedoman untuk analisis masalah motivasi :
a.       Perilaku berganjaran cenderung akan diulangi.
b.      Faktor motivasi yang dipergunakan harus diyakini yang bersangkutan, dan :
-  Standart unjuk kerjanya dapat dicapai.
-  Ganjaran yang diharapkan memang ada.
-  Ganjaran tersebut akan memuaskan kebutuhannya.
c.       Memberi ganjaran atas perilaku yang diinginkan adalah motivasi yang lebih efektif dari pada menghukum perilaku yang tidak dihendaki.
d.      Perilaku tertentu lebih “reinforced” apabila ganjaran atau hukuman bersifat segera dibandingkan dengan yang ditunda.
e.       Nilai motivasi dari ganjaran atau hukuman yang diantisipasi akan lebih tinggi bila sudah pasti akan terjadi dibandingkan dengan yang masih bersifat kemungkinan
f.       Nilai motivasional dari ganjaran atau hukuman akan lebih tinggi bagi yang berakibat  pribadi dibandingkan dengan yang organisasional.
4.      Langkah konkrit untuk memotivasi :
a.       Kenali baik-baik anggota organisasi anda dan identifikasi pola kebutuhan mereka.
b.      Tetapkan sasaran yang harus dicapai berdasarkan prinsip-prinsip penetapan sasaran yang tepat.
c.       Kembangkan sistem pengukuran “performace” yang relieble dan berikan umpan balik kepada mereka secara periodik.
d.      Tempatkan anggota organisasi pada pekerjaan berdasarkan kemampuan dan bakat yang dimilikinya.
e.       Beri dukungan dalam penyelesaiannya tugas, misalnya lewat pelatihan dan menumbuhkan “sense of competence”.
f.       Kembangkan sistem ganjaran yang adil. 
g.   Berlakulan adik, obyektif dan jadilah teladan.

Opini
Pada hakekatnya, tugas seorang manajer adalah menjamin bahwa pekerjaan atau tugas yang dibebankan kepada orang lain akan dikerjakan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk dapat melakukan tugas ini, manajer harus mampu menciptakan suasana yang dapat memotivasi orang lain tersebut. Orang yang bergabung dalam suatu organisasi mengikatkan diri dalam suatu “kontrak kerja” yang merinci pekerjaan apa yang harus dilakukan, berapa jam kerja sehari dan berapa upah atau gaji yang akan diperolehnya. Namun hal tersebut tidak menyebutkan seberapa keras ia harus bekerja, seberapa banyak upaya yang harus dilakukan dan seberapa positif sikap yang harus dimiliki terhadap pekerjaannya. Secara singkat, tidak pernah disebutkan bagaimana motivasi orang tersebut.
Kami berpendapat bahwasannya untuk menjadi seorang wirausahawan yang mandiri, berbagai jenis modal yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Dan ketika  ingin menjadi seorang wirausahawan kita harus mempunyai mimpi dahulu, setelah mempunyai mimpi itu. Bagaimana cara agar mimpi itu akan menjadi kenyataan dan faktor-faktor psikologis apa saja yang harus dimiliki seorang wirausahawan. Ada beberapa alternatif untuk mewujudkan mimpi itu, yaitu: pertama; menjadi wirausahawan yang mandiri, kedua; mencari mitra dengan mimpi yang serupa, dan ketiga; menjual mimpi itu kepada wirausahawan lain ( yang memiliki modal ). Dari ketiga alternatif ini sebaiknya dipikirkan sebelum seseorang mengambil keputusan menjadi wirausahawan, karena jika tidak berfikir mendalam maka pengalaman pahit yang lalu akan memakan kita sendiri/ trauma, maka dari itu jika tidak memikirkan secara  mendalam akibatnya banyak usaha yang akhirnya gulung tikar sebelum dia berkembang.
Untuk menjadi seorang wirausahawan yang sukses memerlukan berbagai faktor pendukung, selain modal masih ada faktor yang merupakan menjadi suatu syarat untuk keberhasilan seorang wirausahawan, yaitu banyak yang bilang mental atau bakat dalam bahasa umum “bakat dagang”. Selain faktor diatas, masih banyak faktor lain yang turut menentukan apakah seorang wirausahawan itu bisa menjadi seorang wirausahawan yang sukses, beberapa diantaranya: kretif dan inovatif, confident, tegar dan ulet, pekerja keras, pola pikir multi-tasking, mampu menahan nafsu untuk menjadi kaya, mengambil resiko dan masih banyak faktor-faktor yang dapat membuat seorang wirausahawan menjadi sukses. Modal utama seorang wirausahawan yang sukses, yaitu mimpi dan ide. 
 Untuk menjadi seorang wirausahawan mandiri, berbagai jenis modal mesti dimiliki. Ada 3 jenis modal utama yang menjadi syarat: (1) sumber daya internal yang merupakan bagian dari pribadi calon wirausahawan misalnya kepintaran, ketrampilan, kemampuan menganalisa dan menghitung risiko, keberanian atau visi jauh ke depan. (2) sumber daya eksternal, misalnya uang yang cukup untuk membiayai modal usaha dan modal kerja, social network dan jalur demand/supply, dan lain sebagainya. (3) faktor X, misalnya kesempatan dan keberuntungan. Seorang calon usahawan harus menghitung dengan seksama apakah ke-3 sumber daya ini ia miliki sebagai modal. Jika faktor-faktor itu dimilikinya, maka ia akan merasa optimis dan keputusan untuk membuat mimpi itu menjadi kenyataan sebagai wirausahawan mandiri boleh mulai dipertimbangkan. Untuk dapat memotivasi secara efektif, seorang pemimpin perlu memahami perilaku individu dalam organisasi. Sebab kinerja atau untuk kerja seseorang dalam suatu organisasi adalah hasil dari perilaku kerja yang ditampilkannya.
Menurut kami selain penjelasan diatas, masih banyak faktor lain yang turut menentukan apakah seseorang bisa menjadi seorang wirausahawan yang sukses. Beberapa di antaranya adalah:
1. Kreatif & Inovatif
Seorang wirausahawan umumnya memiliki daya kreasi dan inovasi yang lebih dari non-wirausahawan. Hal-hal yang belum terpikirkan oleh orang lain sudah terpikirkan olehnya. Perlu diingat bahwa kreatifitas dan inovasi bukan merupakan satu-satunya faktor penentu karena artispun harus memiliki kedua faktor ini sebagai penentu kesuksesannya.

2. Confident, Tegar dan Ulet
Wirausahawan yang berhasil umumnya memiliki rasa percaya diri yang tinggi, tegar dan sangat ulet. Ia tidak mudah putus asa, bahkan mungkin tidak pernah putus asa. Masalah akan dihadapinya dan bukan dihindari. Jika ia membuat salah perhitungan, saat ia sadar akan kesalahannya, ia secara otomatis juga memikirkan cara untuk membayar kesalahan itu atau membuatnya menjadi keuntungan. Ia tidak akan berhenti memikirkan jalan keluar walaupun bagi orang lain, jalan keluar sudah buntu. Kegagalan akan dibuatnya menjadi pelajaran dan pengalaman yang mahal. Semangatnya tidak pernah luntur; ada saja yang membuatnya bisa berpikir positif demi keuntungan yang dikejarnya.
3. Pekerja Keras
Waktu kerja bagi seorang wirausahawan tidak ditentukan oleh jam kerja. Saat ia sadar dari bangun tidurnya, pikirannya sudah bekerja membuat rencana, menyusun strategi atau memecahkan masalah.
4. Mampu Menahan Nafsu untuk Cepat Menjadi Kaya
Wirausahawan yang bijak mengerti bahwa membangun sebuah perusahaan yang kokoh dan mapan memerlukan waktu bertahun-tahun bahkan tidak jarang belasan atau puluhan tahun. Seorang wirausahawan yang memulai usahanya dari skala yang kecil hingga menjadi besar akan mampu menahan nafsu konsumtifnya.
Sebaliknya, wirausahawan yang tidak bijak seringkali tidak dapat menahan nafsu konsumtif. Keuntungan dihabiskan untuk berbagai jenis kemewahan dan hal yang tidak produktif.
5. Berani mengambil risiko
Seorang wirausahawan berani mengambil risiko. Semakin besar risiko yang diambilnya, semakin besar pula kesempatan untuk meraih keuntungan karena jumlah pemain semakin sedikit. Tentunya, risiko-risiko ini sudah harus diperhitungkan terlebih dahulu.
6. Faktor Lainnya
Masih banyak lagi faktor yang belum terungkap dalam artikel ini. Saya berharap para pembaca yang memiliki pengalaman lain mau membagikan pengalamannya agar dapat menjadi inspirasi bagi calon-calon wirausahawan baru. Negara kita memang sedang membutuhkan wirausahawan baru untuk membangun kembali ekonomi yang morat-marit ini.