|
Pesatnya keragaman pembangunan yang terjadi, ternyata dihadapkan pada persoalan-persoalan seperti yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, antara lain: terbatasnya lahan yang tersedia dengan berbagai fungsi peruntukan; pemanfaatan dan pengelolaan lahan serta pola tata ruang yang belum sepenuhnya dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh; penggunaan lahan seringkali terjadi penyimpangan dari peruntukannya; persaingan mendapatkan lokasi lahan yang telah didukung atau yang berdekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan, sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan kota; masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kepatutan atas kewajiban sebagai warga negara.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni menciptakan kesejahteraan rakyat, dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
|
Ada beberapa alasan lahirnya UU No.5 Th 1960 (UUPA) yaitu: hukum agraria yg berlaku sebagian tersusun berdasar tujuan dan sendi2 dari pemerintah jajahan, hingga bertentangan dengang kepentingan negara; karena akibat politik-hukum penjajahan, shg hukum agraria tsb mpy sifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan2 dari hukum adat di samping peraturan2 hukum barat, shg menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa; hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli.
|
A. Tujuan UUPA
|
- Meletakkan dasar2 bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
- Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
- Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Latar belakang dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA di atas adalah karena realitas pengaturan hukum agraria yang diwariskan pemerintah jajahan sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia. Semua itu harus dihapus dan digantikan dengan semangat yang didasarkan pada kepentingan rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945. Dari penjelasan UUPA itu menunjukkan bahwa UUPA adalah anti kapitalisme dan sebaliknya memiliki semangat kerakyatan (populis). Cita-cita UUPA adalah melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada agar menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani.
B. UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)
UUPA terdiri dari 4 bab, yaitu:
1. BAB I, membahas mengenai Dasar dan Ketentuan Pokok. Bab ini terdiri dari 15 pasal.
2. BAB II, membahas mengenai Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa Serta Pendaftaran Tanah. Bab ini terdiri dari 35 pasal.
3. BAB III, membahas mengenai Ketentuan Pidana. Bab ini hanya terdiri dari 1 pasal.
4. BAB IV, membahas mengenai Ketentuan Peralihan. Bab ini terdiri dari 5 pasal.
Terdapat tiga konsep dasar dalam UUPA yaitu: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat; Eksistensi dan wewenang Negara sebagai organisasi tertinggi bangsa dinyatakan dalam Hak Menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa sebagai penjabaran pasal 33 UUD 1945 yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; dan pelaksanaan program landreform. Beberapa bagian penting yang dibahas dalam UUPA adalah tentang yang bersangkutan dengan pengertian hak atas tanah dan ketentuan-ketentuan landreform.
- Pengertian Hak Atas Tanah
Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 dan pasal 53 UUPA, antara lain:
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Tanah.
g. Hak Memungut Hasil Hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak yang dimaksud antara lain :
a. Hak gadai
b. Hak usaha bagi hasil,
c. Hak menumpang,
d. Hak sewa untuk usaha pertanian.
Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya.
Dalam UUPA, hak–hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :
a. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
4) Hak Pakai
5) Hak Sewa Tanah Bangunan
6) Hak Pengelolaan
b. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
1) Hak Gadai
2) Hak Usaha Bagi Hasil
3) Hak Menumpang
4) Hak Sewa Tanah Pertanian
Pencabutan Hak Atas Tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi.
- Landreform
Bila ditinjau secara seksama maka akan jelaslah bahwa UUPA (terutama pasal 7, 10 dan 17) merupakan induk dari ketentuan landreform Indonesia, baik mulai dari menimbang hingga pasal 19 dan ketentuan-ketentuan Konversi Hak atas Tanah. Dengan membaca konsiderans maupun Penjelasan dari UUPA dan pasal 1 hingga pasal 19 UUPA, mapun Ketentuan Konversi akan jelas tentang penetapan dari landreform di Indonesia (A.P.Parlindungan, 1987:4).Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal 17 UUPA tentang batas maksimum-minimum pemilikan tanah dikeluarkan Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dikenal sebagai UU Landreform. Kemudian terhadap pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Perkembangan lebih lanjut dari landreform di Indonesia dalam pelaksanaannya mengalami stagnasi, tersendat-sendat dan tidak tuntas terkesan dianaktirikan dalam kebijakan pembangunan bahkan baru pada tahun 1978 kemudian tahun 1983 dalam GBHN secara tegas dinyatakan landreform sebagai suatu kemauan politik. Perubahan jaman dengan adanya liberalisasi perdagangan menempatkan tanah sebagai komoditi membuat masalah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah semakin kompleks dimana rakyat terutama petani kecil diposisikan sebagai korban arus kapitalisme global. Fenomena di atas terlihat jelas, dimana rejim orde baru sejal awal langkah pemerintahannya telah meninggalkan roh dan semangat UUPA yang populis dan diganti dengan kebijakan memfasilitasi akumulasi modal.
Asas-asas dan ketentuan pokok landreform dijumpai dalam UUPA. Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agraria Reform Indonesia. Program landreform dalam arti luas disebut Agraria atau Reform atau Panca Program yang meliputi:
a. Pembaharuan hukum agraria yaitu dengan mengadakan perombakan terhadap sendi-sendi hukum agraria lama yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi jaman dan menggantikan dengan perkembangan masyarakat modern.
b. Mengadakan penghapusan terhadap segala macam hak-hak asing konsesi kolonial.
c. Mengakhiri kekuasaan tuan tanah dan para feodal atas tanah yang telah banyak melakukan pemerasan terhadap rakyat melalui penguasaan tanah.
d. Mengadakan perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
e. Mengadakan perencanaan, persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana sesuai dengan kemampuan dan perkembangan kemajuan.
Sedangkan pengertian program landreform dalam arti sempit hanya mencakup program yang ke empat yang mencakup perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan hukum yang berkenaan dengan penguasaan tanah.
UUPA sebagai induk dari program landreform di Indonesia maka beberapa pasal-pasal UUPA yang sangat berkaitan dengan landreform yaitu pasal 7, 10 dan 17 (lihat dalam lampiran). Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas diatur secara tegas dalam pasal 7 yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Ketentuan dalam pasal tersebut berhubungan dengan pasal-pasal lainnya seperti dalam pasal 10 yang menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakan sendiri secara aktif. Ketentuan pasal 10 ini hendaknya dapat menghalangi terwujudnya tuan-tuan tanah yang tinggal di kota-kota besar, menunggu saja hasil tanah-tanah yang diolah dan digarap oleh orang yang berada di bawah perintah/kuasanya.
Selanjutnya dalam pasal 17 UUPA menunjuk kepada apa yang ditentukan dalam pasal 7 dan 10, maka pasal 17 mengemukakan tentang batas-batas maksimum luasnya tanah. Dengan adanya ketentuan ini dapat dihindarkan tertumpuknya tanah pada golongan-golongan tertentu saja. Dasar hukum yang tercantum di sini sejalan pula dengan tujuan landreform. Pasal 17 UUPA ini juga mencerminkan ciri-ciri khas serta kebijaksanaan dalam pelaksanaan landreform di Indoensia yaitu pemberian/pembayaran ganti rugi oleh pemerintah kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan tanah absentee.
Tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam kerangka pencapaian tujuan keadilan sosial yang menjadi semangat dan roh UUPA pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan hukum dibidang pertanahan, antara lain:
a. UU No.56 Prp 1960 sebagai pelaksanaan pasal 17 UUPA,
b. UU No.2/1960 tentang Bagi Hasil,
c. Peraturan Pemerintah (PP) No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah,
d. PP No.224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian yang kesemuanya disiapkan untuk pelaksanaan program landreform.
Keberadaan aturan-aturan tersebut tidak menjamin bahwa program landreform dapat dilaksanakan secara maksimal, pergantian rejim pemerintahan tidak memperlancar program ini bahkan macet dalam pelaksanaannya, sebab prinsip yang digunakan oleh pemerintah yaitu tanah untuk sebesar-besarnya pertumbuhan ekonomi nasional. Aparatur militer juga diposisikan untuk mendukung proses ini dengan dasar asumsi bahwa pembangunan memerlukan stabilitas politik. Di sini konsep tanah berfungsi sosial (pasal 6 UUPA) semakin jauh, fungsi sosial itu dimaknakan dan dijadikan dasar legitimasi pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan industri.
Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih terjadinya penumpukan tanah oleh pihak tertentu, padahal pasal 7 UUPA mengatur tentang larangan menguasai tanah melampaui batas tertentu, sebab hal ini merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya didaerah yang berpenduduk padat. Kelangkaan tanah menyebabkan tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Kemudian dalam penjelasan umum UU No.56 Prp Tahun 1960 menetapkan bahwa untuk mempertinggi taraf hidup rakyat pada umumnya tidaklah cukup diadakan penetapan luas maksimum dan minimum saja, tetapi harus diikuti dengan pembagian tanah-tanah yang melebihi maksimum itu. Agar supaya dapat dicapai hasil sebagai yang diharapkan, maka usaha itu perlu disertai tindakan-tindakan lainnya misalnya pembukuan tanah, tanah pertanian baru, industrialisasi, transmigrasi, usaha untuk mempertinggi produktivitas, persediaan yang cukup dan dapat diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah serta tindakan-tindakan lainnya.
Ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan tanah semakin nampak jelas akibat dari tidak meratanya pendistribusian/pembagian tanah, hal ini dapat dilihat dari gejala, tanah-tanah tersebut terakumulasi di tangan orang atau badan-badan tertentu. Kekhawatiran terbesar adalah akan melambungnya harga tanah. Untuk memperkecil akses dari ketimpangan itu, dia menyatakan perlunya kesadaran akan aturan yang berlaku. Penegakan hukum yang menyangkut masalah tanah sangat diperlukan agar jangan sampai tanah dikuasai oleh orang atau badan tertentu saja. Bila itu terus berlanjut nanti akan banyak lahan yang sia-sia, sebab disebuah lingkungan perumahan tidak semua lahan tersebut digunakan. Padahal di sisi lain sekelompok masyarakat kecil kesulitan mencari tanah untuk bercocok tanam.
Oleh sebagian kalangan UUPA dipandang tidak mampu untuk mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah yang terjadi sekarang. Kebijakan pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi telah menempatkan tanah sebagai asset yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga tak heran bila banyak pihak yang bermodal besar memborong tanag-tanah sebagai penanaman modal tabungannya. Penimbunan tanah-tanah demikian tentunya akan mengurangi daya produksi dipedesaan, karena berkurangnya kegiatan menggarap tanah atau tanah digunakan untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan. UUPA/Landreform yang diumumkan pada tahun 1961 demikian juga dengan tindakan transmigrasi tidak dapat mengatasi keadaan pincang antara pemilik tanah dan mereka yang tidak memiliki tanah.
Dalam perkembangannya pelaksanaan landreform di Indonesia pun mengalami stagnasi, tersendat-sendat, dan tidak tuntas, dimana hambatan utama pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintah orde baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini kurang memberikan keberpihakan pada masyarakat golongan ekonomi lemah, termasuk petani yang memang membutuhkan tanah. Sehingga kebijakan pertanahan dalam rangka landreform perlu ditinjau ulang. Selain itu terdapat beberapa UU dan peraturan pelaksanaan UUPA yang juga perlu mengalami perubahan, seperti pengurangan luas batas maksimum umpamanya menjadi 2 ha dan batas minimum ½ ha. Hal tersebut sangat diperlukan dengan alasan jika batas maksimum yang ada sekarang terus dipertahankan maka tidak akan banyak tanah kelebihan yang dapat dibagikan kepada petani gurem yang demikian besar jumlahnya.
Bila mencermati uraian di atas maka UUPA sebagai induk landreform pada dasarnya hanya berisikan hal-hal yang pokok saja, pengaturan secara khusus hanya dapat dijumpai dalam UU dan peraturan pelaksanaannya yang tentu saja dapat berubah atau disempurnakan dan kesemuanya bergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Maka dengan perkembangan masyarakat sekarang ini serta meningkatnya kebutuhan akan tanah, program landreform harus dituntaskan pelaksanaannya yang tentu harus didukung oleh kemauan politik pemerintah, maka kebijakan pertanahan perlu untuk diperbaharui sesuai konsep pembaruan agrarian dan paradigma baru yang mendukung ekonomi kerakyatan, demokratis, dan partisipatif.
C. Penyempurnaan UUPA
Perlu diakui bahwa UUPA merupakan karya besar yang terbit tahun 1960, pada tahap awal penyelenggaraan negara, di tengah konflik politik dan mendesaknya kebutuhan akan suatu undang-undang yang memberi jaminan keadilan terhadap akses untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya agraria (SDA) berupa bumi, air, kekayaan alam, dan sebagainya. Menilik namanya, obyek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah.
Obyek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti berbagai sektor melalui berbagai undang-undang sektoral. Undang-undang itu terutama diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pragmatis guna mengakomodasi pertumbuhan ekonomi. Berbagai undang-undang sektoral itu adalah : UU No 5 Tahun 1997 tentang Kehutanan diperbarui dengan UU No 41 Tahun 1999; UU No 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan/sedang direvisi; UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan/sedang direvisi berjudul "RUU tentang Sumber Daya Air"; dan lainnya pembentukannya tidak berlandaskan prinsip-prinsip yang telah diletakkan UUPA. Pada gilirannya, kedudukan UUPA diatur kembali menjadi UU sektoral yang hanya mengatur pertanahan. Selain itu, meski berbagai undang-undang sektoral mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, namun substansinya pada umumnya memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan falsafah "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat"
Kajian yang dilakukan Tim Penyusun RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam mencatat lima karakteristik peraturan perundang-undangan sektoral:
- orientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara;
- lebih berpihak pada pemodal besar;
- ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara sehingga bercorak sentralistik;
- pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antarsektor yang lemah;
- tidak mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara proporsional.
Secara ringkas, akibat keberadaan berbagai UU sektoral yang inkonsisten dan tumpang tindih itu adalah koordinasi yang lemah di tingkat pusat, antara pusat dan daerah serta antardaerah; kerusakan dan kemunduran kualitas SDA; ketidakadilan berupa terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang hidupnya terutama tergantung pada akses terhadap SDA (petani, masyarakat adat, dll); serta timbulnya konflik berkenaan dengan SDA.
Kenyataan ini mendorong terbitnya Tap MPR IX/2001 yang antara lain meletakkan prinsip pembaruan agraria, mendorong pengkajian ulang dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektoral melalui pencabutan, penggantian, atau penyempurnaan UU sektoral. UU Agraria mendatang
Kini yang diperlukan adalah keberadaan UU yang menjadi platform bersama bagi berbagai UU sektoral. UUPA yang semula diniatkan jadi UU platform, baik karena obyek pengaturan maupun falsafah, orientasi, dan prinsip dasarnya, bernilai strategis untuk berperan dalam harmonisasi undang-undang sektoral. Penyempurnaan UUPA dalam rangka harmonisasi undang- undang sektoral dititikberatkan pada hal-hal berikut:
- Pertama, pilihan paradigma adalah penghormatan dan perlindungan HAM, keberlanjutan kapasitas produktif masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan good governance;
- Kedua, falsafah UU Agraria nanti adalah penggunaan bumi, air, ruang udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (SDA) guna sebesar-besar kemakmuran rakyat.
- Ketiga, orientasi UU Agraria mendatang adalah pencapaian keadilan sosial, efisiensi, pelestarian lingkungan, dan penggunaan SDA berkelanjutan;
- Keempat, prinsip-prinsip dasar UUPA perlu diredefinisi dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan SDA yang termuat dalam Tap IX/2001.
Kedudukan UU Agraria mendatang adalah sebagai dasar pengaturan lebih lanjut berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan sektoral. Secara garis besar, struktur UU Agraria nanti akan memuat:
- ketentuan umum berisi falsafah, orientasi, dan prinsip-prinsip dasar;
- hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan SDA (tanah, hutan, tambang, air, dsb) yang akan memuat ketentuan penguasaan atau pemanfaatan dan pengaturan SDA yang dapat berwujud hak atau izin dengan implikasi kewenangan, hak, kewajiban, dan pembatasannya.
Dalam kaitan dengan prinsip dasar diperlukan ketegasan sikap tentang hubungan antara hak perorangan dan hak bersama berkenaan penguasaan dan pemanfaatan SDA, akomodasi terhadap keanekaragaman hukum yang masih berlaku dan dijunjung tinggi di lingkungan masyarakat adat, dan alternatif penyelesaian konflik berkenaan dengan SDA.
|
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Tujuan UUPA antara lain meletakkan dasar2 bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
- Terdapat tiga konsep dasar dalam UUPA yaitu: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat; Eksistensi dan wewenang Negara sebagai organisasi tertinggi bangsa dinyatakan dalam Hak Menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa sebagai penjabaran pasal 33 UUD 1945 yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; dan pelaksanaan program landreform.
- Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Adapun ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 dan pasal 53 UUPA.
- UUPA (terutama pasal 7, 10 dan 17) merupakan induk dari ketentuan landreform Indonesia, baik mulai dari menimbang hingga pasal 19 dan ketentuan-ketentuan Konversi Hak atas Tanah.
- 15
- Pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah, seddangkan undang-undang SDA lainnya diatur dalam undang-undang sektoral. Sehingga menyebabkan banyak kesimpangsiuran peraturan, maka diperlukan penyempurnaan UUPA.
|
Aji, Fia S. 2010. UUPA sebagai Induk Lanreform. http://fiaji.blogspot.com. Diakses Tanggal 25 November 2010.
Paryoto. 2010. Pengertian Tanah Menurut UUPA. http://paryoto.com. Diakses tanggal 25 November 2010.
Sitorus, Oloan dan Rakhmad Riyadi. 2009. Penyempurnaan UUPA. http://nasih.staff.ugm.ac.id. Diakses tanggal 25 November 2010.
Sumardjono, Maria SW. 2010. Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan. http://www.unisosdem.org. Diakses tanggal 25 November 2010.
Undang Undang No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria).